Senin, 15 Oktober 2012

2. MASA KOLONIAL


Kedatangan kolonialisme asing khususnya Belanda telah membawa beberapa perubahan dalam sendi feodalisme, namun tidak menghancurkannya secara keseluruhan, tetapi justru menjadikannya basis atau dasar susunan ekonomi kolonial. Kolonialisme bekerjasama dengan kekuatan feodal lokal menjalankan penindasan yang paling keji dan vulgar terhadap rakyat Indonesia, dan pada masa tersebut kebijakan dan praktek migrasi benar-benar sepenuhnya melayani kepentingan ekonomi politik penguasa kolonial. Pada masa itu, orang Jawa menjadi sasaran utama dari kebijakan migrasi kolonialisme Belanda. Setelah berakhirnya perang Jawa (1825-1830), pemerintah kolonial Belanda berkepentingan untuk membuka sumber-sumber ekonomi di luar Jawa, termasuk dalam rangka mengembangkan kekuasaannya secara lebih besar di pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan untuk mengantisipasi persaingan dengan negara-negara kolonial lainnya. Atas dasar itulah, maka orang Jawa banyak dikirim ke luar Jawa untuk diperkerjakan di tempat-tempat yang kaya dengan sumber alam. Pada kurun waktu yang hampir sama, orang Jawa dan Sumatra juga semakin banyak yang migrasi ke Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia dan Singapura) mengingat kolonialisme Inggris yang berkuasa memang sengaja membuka selebar-lebarnya arus migrasi dari Sumatra dan Jawa, pertama-tama untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja sebagai akibat masih sedkitnya populasi manusia di kedua negara tersebut.

Bahkan pada akhir abad ke 19, dengan dibukanya perkebunan-perkebunan baru di Sumatra Timur, pemerintah kolonial Belanda mengirim ribuan orang Jawa ke Sumatra untuk diperkerjakan sebagai buruh di perkebunan seperti perkebunan tembakau maupun juga pabrik gula. Ekspor orang Jawa ternyata tidak hanya ke Sumatra Timur tetapi juga ke Suriname, Kaledonia Baru dan juga Vietnam. Pemerintah kolonial Belanda menutupi praktek ekspor manusia ini dengan bungkus program Politik Etis atau Balas Budi yang mereka sebarluaskan akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Perluasan perkebunan yang sangat cepat, dan berdirinya pabrik pengolahan hasil perkebunan, telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan tenaga kerja. Jumlah buruh perkebunan dari Jawa ternyata belum mencukupi sehingga pemerintah kolonial Belanda pada saat yang bersamaan juga mendatangkan tenaga kerja dari Cina. Kehidupan buruh perkebunan sangatlah berat dan menderita disebabkan oleh rendahnya upah dan buruknya kondisi kerja. Bahkan seringkali mereka tidak dibayar karena uang gaji mereka dirampas oleh para mandor, dan kekurangan bahan makanan dan pakaian menjadi pemandangan umum yang dapat dilihat di perkebunan-perkebunan masa itu. Para buruh yang tidak tahan atas beratnya penderitaan banyak yang melarikan diri, namun kemudian mereka akan mendapatkan siksaan yang berat ketika berhasil ditemukan atau ditangkap. Hal ini menjadi legal karena pemerintah kolonial Belanda menerbitkan Koelie Ordonantie yang memberikan hak secara legal kepada para pemilik perkebunan untuk memberikan hukuman kepada para buruhnya yang membangkang atau melawan. Perempuan Jawa dan Cina pada waktu itu juga banyak yang diperdagangkan, dipaksa menjadi pelacur di wilayah perkebunan dan ada yang menjadi wanita simpanan para mandor dan pegawai perkebunan yang berkebangsaan Belanda. Pemerintah kolonial juga menggunakan migrasi sebagai jalan keluar untuk menyalurkan keresahan sosial sebagai akibat dari penghisapan ekonomi dan tekanan penduduk di banyak daerah pedesaan di Jawa dengan cara memindahkan mereka ke pulau-pulau luar Jawa. Catatan penting pada masa kolonial bahwa migrasi yang berlangsung pada waktu itu sepenuhnya didominasi oleh kebijakan kolonial yang diabdikan untuk kepentingan negeri kolonial Terutama dalam hal pengerahan atau mobilisasi tenaga kerja murah ke tempat-tempat di mana sumber keuntungan kolonial berada, dan pada saat yang bersamaan telah membawa jutaan manusia dari berbagai asal usul etnis dan bangsa ke dalam situasi penderitaan yangsangat berat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar