Senin, 15 Oktober 2012


Sementara pengusaha-pengusaha besar dalam negeri maupun juga asing semakin aktif dan agresif untuk membuka usaha ekonomi di luar Jawa yang kaya dengan sumber alam dan memiliki jutaan hektar tanah yang masih belum produktif. Maka banyak perusahaan besar tersebut dengan bantuan negara membuka perkebunan-perkebunan besar di luar Jawa terutama untuk ditanami tanaman komoditi ekspor seperti Sawit, Karet, Kakao dan sebagainya. Perkembangan tersebut seperti juga yang terjadi di masa kolonial, telah meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja. Hal inilah yang telah mendorong pemerintah atas persekongkolan dengan para pengusaha, meluncurkan program transmigrasi dengan alasan kepadatan penduduk, tetapi sebenarnya adalah upaya memobilisasi tenaga kerja murah dari Jawa untuk membuka hutan di luar jawa agar dapat digunakan sebagai perkebunan oleh para pengusaha. Dan kemudian dibungkus dan ditutup-tutupi dengan skema atau pola kemitraan antara pengusaha dan petani seperti pola Inti dan Plasma.

Keterbelakangan ekonomi juga terjadi di pedesaan yang merupakan tempat di mana mayoritas rakyat Indonesia berada. Pengangguran juga meluas di pedesaan sebagai akibat sempitnya lapangan pekerjaan. Di desa yang menumpukkan ekonominya pada pertanian, mayoritas kaum tani adalah kaum tani yang tidak bertanah. Kalaupun ada yang memiliki tanah, maka dalam jumlah yang sangat terbatas sehingga hasilnya tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Keadaan ini terjadi karena tanah-tanah yang ada di desa rata-rata dikuasai oleh tuan tanah besar, tani kaya dan orang kaya desa lainnya. Sehingga sedikit sekali kaum tani yang dapat memanfaatkan tanah bagi kehidupan mereka. Inilah yang menyebabkan kenapa kemiskinan begitu luas di pedesaan. Program land reform yang sangat penting bagi kaum tani sampai sekarang belum pernah dijalankan. Kemiskinan di pedesaan inilah yang menjadi salah satu sebab utama mengapa banyak penduduk desa terutama yang berusia muda melakukan migrasi baik ke kota-kota besar bahkan migrasi internasional ke negeri-negeri lain sebagai buruh migran.

Pada masa pemerintahan Soeharto, laju migrasi internasional meningkat pesat. Artinya, semakin banyak orang terutama perempuan dan berasal dari keluarga tani miskin di desa yang menjadi buruh migran di negeri lain seperti Malaysia, Arab Saudi, Kuwait, Singapura, Taiwan, Hongkong, Jepang, Korea dan sebagainya. Pada prakteknya, para buruh migran mengalami penderitaan dan penindasan semenjak direkrut oleh calo, penyalur atau agen, saat berada di penampungan, selama bekerja di luar negeri dan sesampainya kembali di Indonesia. Masih berlakunya ekonomi kolonial di Indonesia telah membuat angkatan kerja yang ada memiliki tingkat pendidikan dan kecakapan yang sangat rendah. Dengan keadaan seperti itu, maka bisa dipastikan bahwa sebagian besar buruh migran Indonesia hanya mengisi jenis pekerjaan dengan tingkat ketrampilan rendah dan upah yang sangat murah seperti misalnya pembantu rumah tangga. Pemerintah yang telah menjadi frustasi karena tidak mampu memecahkan masalah pengangguran lantas menjadikan ekspor manusia sebagai andalan. Pemerintah beranggapan bahwa buruh migran menjadi salah satu pemecahan masalah penyediaan lapangan pekerjaan dan pada saat yang sama peningkatan pendapatan negara. Sesungguhnya mengapa pemerintah sangat bersemangat menggalakkan ekspor buruh migran, salah satunya karena merupakan ladang emas bagi para aparaturnya yang korup. Sebagai akibat berlakunya ekonomi kolonial, maka terjadi perkembangan ekonomi yang tidak merata : antara desa dengan kota, antar daerah dalam satu propinsi, antar propinsi, antara pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar